PKS Minta Pemprov DKI Maksimalkan Sosialisasi Kesehatan di PSBB Transisi

by Humas PKS Jakarta

Jakarta – Pakar epidemiologi dari Universitas Indonesia menilai pelonggaran PSBB di DKI Jakarta belum memenuhi 6 persyaratan dari WHO. Fraksi PKS DPRD DKI Jakarta meminta Pemprov DKI meningkatkan sosialisasi penerapan protokol kesehatan yang ketat kepada masyarakat.

“Maksimalisasi sosialisasi fase transisi ini adalah fase yang sangat menentukan keberhasilan atau kegagalan untuk memasuki fase new normal. Ikut sertakan para pemimpin informal (informal leader) untuk ikut terlibat membantu program ini,” kata Penasihat Fraksi PKS DPRD DKI Jakarta Nasrullah, Kamis (11/6/2020).

Nasrullah juga meminta agar Gugus Tugas di tingkat RT dan RW dilibatkan. Menurutnya, para pelanggar protokol kesehatan harus ditindak tegas.

“Maksimalisasi mereka para pelaksana gugus tugas sampai tingkat RT/RW, bersama Satpol PP untuk mengawasi dan menindak para pelanggar SOP kesehatan,” sebutnya.

Nasrullah mengatakan pelonggaran PSBB di DKI dipertimbangkan dari berbagai aspek. Seperti angka penularan di bawah 1.

“Dari hari hitungan ada. Pendapat berbagai profesi yang diminta Pak Anies, Jakarta sudah berada dibawa 1 IR, yaitu 0,99. Hitungan di komisi kami, di Komisi A juga di dapat 0,98. Artinya, Jakarta sudah memasuki fase pelonggaran/transisi. Namun sebetulnya, hitungan 0,99 itu relatif belum aman. Harusnya di bawah 0,5,” kata Nasrullah.

Selain itu, menurutnya, faktor ekonomi diperhatikan dalam pelonggaran PSBB ini. Nasrullah mengatakan PSBB bisa saja diperketat kembali.

“Namun, mengingat berbagai macam pertimbangan, bukan hanya faktor kesehatan juga seperti faktor ekonomi, faktor keagamaan, dan faktor psikis sosiologis, menuntut adanya pengaturan pelonggaran, ditetapkan lah masih dalam tahap PSBB yang diperlonggar atau fase transisi. Apabila dalam perjalanannya dirasakan adanya bahaya yang besar, maka akan dimasukkan lagi PSBB yang diperketat,” jelasnya.

Lebih lanjut, Nasrullah menilai terjadi euforia pada masyarakat saat PSBB transisi diberlakukan. Jadi, dia menilai, protokol kesehatan diabaikan.

“Permasalahannya adalah terjadinya euforia di kalangan masyarakat ketika ditetapkan masa transisi, maka terjadi lah beberapa pelanggaran, di antaranya banyak yang tidak menjaga jarak atau social distancing, dan ada yang tidak memakai masker,” ungkapnya.

Sebagaimana diketahui, Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus mengatakan minimal ada 6 syarat yang harus dipenuhi bila pemerintah suatu negara ingin membuka kembali wilayahnya.

Berikut ini syaratnya:
1. Transmisi penyakit sudah terkendali.
2. Sistem kesehatan mampu mendeteksi, mengetes, mengisolasi, dan melakukan pelacakan kontak terhadap semua kasus positif.
3. Risiko di lokasi hot spot seperti panti jompo bisa diminimalisir.
4. Sekolah, kantor, dan lokasi penting lainnya bisa dan telah menerapkan upaya pencegahan.
5. Risiko kasus impor bisa ditangani.
6. Komunitas masyarakat sudah benar-benar teredukasi, terlibat, dan diperkuat untuk hidup dalam kondisi ‘normal’ yang baru.

Namun, menurut Kepala Departemen Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI), Tri Yunis Miko Wahyono, 6 syarat tersebut belum dipenuhi DKI Jakarta.

“Kalau dari syarat pertama sih kayaknya belum memenuhi syarat. Karena kasus COVID-19-nya belum turun dan belum aman,” kata Tri Yunis Miko saat dihubungi, Kamis (11/6).

Miko mengatakan semestinya PSBB Jakarta belum saatnya dilonggarkan. Kendati demikian, dia memakluminya jika dilihat dari kondisi ekonomi.

“Seharusnya belum dilonggarkan. Tapi kan tuntutan ekonomi jadi masalah DKI Jakarta. Kalau ekonomi nggak bergerak, bayangkan berapa besar kehilangannya. Pedagang-pedagang Tanah Abang, Mangga Dua, semua akan teriak. Kalau teriak akan susah untuk meredamnya,” ujar Miko.

Gubernur DKI Jakarta Anies Bawedan mengatakan, dalam memerangi virus Corona, butuh kerja sama semua pihak. Dia menyebut penanganan COVID bukan hanya kerja satu atau dua orang.

Sumber : detik.com

Related Posts